Peranan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Pada Hipertensi
Peranan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Pada Hipertensi
Pendahuluan
Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang ditandai peningkatan tekanan darah secara kronis. Hipertensi terjadi ketika volume darah meningkat dan/atau saluran darah menyempit, sehingga membuat jantung memompa lebih keras untuk menyuplai oksigen dan nutrisi kepada setiap sel di dalam tubuh. Tekanan darah diukur berdasarkan tekanannya terhadap dinding pembuluh darah (yang besarannya dinyatakan dalam mmHg). Jika tekanan darah melebihi tingkat yang normal, maka resiko kerusakan bisa terjadi pada organ organ vital di dalam tubuh seperti jantung, ginjal, otak, dan mata. Hal ini meningkatkan resiko kejadian yang bisa berakibat fatal seperti serangan jantung dan stroke.
Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang ditandai peningkatan tekanan darah secara kronis. Hipertensi terjadi ketika volume darah meningkat dan/atau saluran darah menyempit, sehingga membuat jantung memompa lebih keras untuk menyuplai oksigen dan nutrisi kepada setiap sel di dalam tubuh. Tekanan darah diukur berdasarkan tekanannya terhadap dinding pembuluh darah (yang besarannya dinyatakan dalam mmHg). Jika tekanan darah melebihi tingkat yang normal, maka resiko kerusakan bisa terjadi pada organ organ vital di dalam tubuh seperti jantung, ginjal, otak, dan mata. Hal ini meningkatkan resiko kejadian yang bisa berakibat fatal seperti serangan jantung dan stroke.
Hipertensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan sering kali berbeda-beda pada tiap individu. Penanganan hipertensi sendiri lebih ditujukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Dengan pengobatan atau pengontrolan tekanan darah, maka berbagai komplikasi yang dapat dipicu oleh hipertensi dapat dicegah. Salah satu macam obat yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan hipertensi adalah angiotensin receptro blocker (ARB).2
Angiotensin receptor blocker (ARB) merupakan salah satu obat antihipertensi yang bekerja dengan cara menurunkan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. ARB mampu menghambat angiotensin II berikatan dengan reseptornya, sehingga secara langsung akan menyebabkan vasodilatasi, penurunan produksi vasopresin, dan mengurangi sekresi aldosteron. Ketiga efek ini secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan tekanan darah.3-6
Mengingat pentingnya manfaat ARB terhadap hipertensi, maka pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan hipertensi dan ARB sebagai salah satu obat untuk menanggulanginya.
sumber : http://ahmadrahmawan.blogspot.com/2009/10/peranan-angiotensin-receptor-blocker.html?m=1
Pengertian Hipertensi
Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah nama lain dari tekanan darah tinggi. Tekanan darah itu sendiri adalah kekuatan aliran darah dari jantung yang mendorong dinding pembuluh darah (arteri). Kekuatan tekanan darah ini bisa berubah dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh aktivitas apa yang sedang dilakukan jantung (misalnya sedang berolahraga atau dalam keadaan normal/istirahat) dan daya tahan pembuluh darahnya.
Hipertensi adalah kondisi di mana tekanan darah lebih tinggi dari 140/90 milimeter merkuri (mmHG). Angka 140 mmHG merujuk pada bacaan sistolik, ketika jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Sementara itu, angka 90 mmHG mengacu pada bacaan diastolik, ketika jantung dalam keadaan rileks sembari mengisi ulang bilik-biliknya dengan darah.
Perlu diketahui bahwa tekanan sistolik adalah tekanan maksimal karena jantung berkontraksi, sementara tekanan diastolik adalah tekanan terendah di antara kontraksi (jantung beristirahat).
Memahami angka tekanan darah normal tidaklah mudah, terutama dengan istilah seperti “sistolik”, “diastolik”, dan “milimeter merkuri” (mmHg). Namun, jika Anda ingin menjaga tekanan darah tetap terkontrol, penting untuk mengetahui apa yang dianggap normal, dan kapan tekanan darah dikatakan terlalu tinggi alias hipertensi.
Tekanan darah normal berkisar di angka 120/80 mmHG. Saat angka sistolik dan diastolik berada di kisaran ini, maka Anda dapat disebut memiliki tekanan darah normal. Seseorang baru disebut memiliki darah tinggi atau mengidap hipertensi jika hasil pembacaan tekanan darah menunjukkan 140/90 mmHG. Tekanan darah yang terlalu tinggi akan mengganggu sirkulasi darah.
Namun begitu, memiliki tekanan darah normal bukan berarti Anda bisa bersantai. Saat angka sistolik Anda berada di antara 120-139, atau jika angka diastolik (angka bawah) berkisar di 80-89, ini artinya Anda memiliki “prehipertensi”. Meskipun angka ini belum bisa dianggap hipertensi, tetap saja ini di atas angka normal. Orang-orang yang sehat juga dianjurkan untuk melakukan langkah pencegahan untuk menjaga agar tekanan darah tetap berada di kisaran normal, sekaligus menghindari risiko hipertensi dan penyakit jantung.
Apabila pembacaan tekanan darah Anda berada di atas 180/110 mmHg, atau jika memiliki tekanan sistolik ATAU diastolik yang lebih tinggi dari angka ini, Anda berisiko menghadapi masalah kesehatan yang sangat serius. Angka ini menunjukkan kondisi yang disebut krisis hipertensi. Jika tekanan darah Anda sampai setinggi ini, dokter biasanya akan mengukur kembali setelah beberapa menit. Jika masih sama tingginya, Anda akan segera diberi obat darah tinggi darurat.
sumber : https://hellosehat.com/penyakit/hipertensi-adalah-darah-tinggi/
Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah
Tekanan darah arteri merupakan hasil dari cardiac output dan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara, antara lain:
* Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya
* b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi "vasokonstriksi", yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.
* Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, atau banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut diperankan oleh perubahan fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara, antara lain jika tekanan darah meningkat, maka ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) dapat menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom, yang untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar). Sistem ini juga meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung, mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak), serta mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh. Sistem saraf simpatis juga memicu pelepasan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah, dan selanjutnya akan mencetuskan peningkatan tekanan darah.
Tekanan darah arteri merupakan hasil dari cardiac output dan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara, antara lain:
* Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya
* b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi "vasokonstriksi", yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.
* Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.
Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri mengalami pelebaran, atau banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut diperankan oleh perubahan fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara, antara lain jika tekanan darah meningkat, maka ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal. Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) dapat menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom, yang untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-flight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar). Sistem ini juga meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung, mempersempit sebagian besar arteriola, tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka, yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak), serta mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh. Sistem saraf simpatis juga memicu pelepasan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah, dan selanjutnya akan mencetuskan peningkatan tekanan darah.
Etiologi Hipertensi
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :
a. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak / belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain.
Hipertensi primer kemungkinan memiliki banyak penyebab. Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Jika penyebab hipertensi diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan; bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang memiliki kepekaan yang diturunkan. Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal.
Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder:
Penyakit Ginjal
1. Stenosis arteri renalis
2. Pielonefritis
3. Glomerulonefritis
4. Tumor-tumor ginjal
5. Penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan)
6. Trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal)
7. Terapi penyinaran yang mengenai ginjal
Kelainan Hormonal
1. Hiperaldosteronisme
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hiperplasia adrenal kongenital
5. Hipertiroid
6. Hiperparatiroid
7. Kontrasepsi
Obat-obatan
1. Kortikosteroid
2. Obat-obat adrenergik
3. Siklosporin
4. Eritropoietin
5. Kokain
6. Penyalahgunaan alkohol
7. Kayu manis (dalam jumlah sangat besar)
Penyebab Lainnya
1. Tumor otak
2. Koartasio aorta
3. Vaskulitis
4. Penyakit kolagen
5. Preeklamsi pada kehamilan
6. Porfiria intermiten akut
7. Keracunan timbal akut.
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :
a. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak / belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain.
Hipertensi primer kemungkinan memiliki banyak penyebab. Beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Jika penyebab hipertensi diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan; bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang memiliki kepekaan yang diturunkan. Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal.
Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder:
Penyakit Ginjal
1. Stenosis arteri renalis
2. Pielonefritis
3. Glomerulonefritis
4. Tumor-tumor ginjal
5. Penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan)
6. Trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal)
7. Terapi penyinaran yang mengenai ginjal
Kelainan Hormonal
1. Hiperaldosteronisme
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hiperplasia adrenal kongenital
5. Hipertiroid
6. Hiperparatiroid
7. Kontrasepsi
Obat-obatan
1. Kortikosteroid
2. Obat-obat adrenergik
3. Siklosporin
4. Eritropoietin
5. Kokain
6. Penyalahgunaan alkohol
7. Kayu manis (dalam jumlah sangat besar)
Penyebab Lainnya
1. Tumor otak
2. Koartasio aorta
3. Vaskulitis
4. Penyakit kolagen
5. Preeklamsi pada kehamilan
6. Porfiria intermiten akut
7. Keracunan timbal akut.
Faktor risiko dan Patogenesis Terjadinya Hipertensi
Patogenesis terjadinya hipertensi esensial (primer) meliputi banyak faktor yang beragam. Faktor-faktor tersebut antara lain, perfusi jaringan yang adekuat, mediator humoral, vaskular, volume darah sirkulasi, viskositas, cardiac output, elastisitas pembuluh, dan stimulasi saraf. Selain itu, juga terdapat faktor lain, seperti genetik (ras), diet, dan usia.
Hipertensi dapat berkembang dengan disertai berbagai kerusakan organ target, misalnya aorta dan arteri, jantung, ginjal, retina, dan susunan saraf pusat. Progresivitas peningkatan tekanan darah dapat berlangsung hingga puluhan tahun. Hipertensi stadium awal dapat merupakan bentuk awal hipertensi, yang dihasilkan oleh penurunan resistensi perifer dan peningkatan stimulasi kardiak oleh hiperaktivitas adrenergik dan homeostasis kalsium. Bila hipertensi berlangsung kronis, maka resistensi vaskular akan meningkat. Reaktivitas vaskular merupakan faktor penting yang menentukan perubahan derajat hipertensi. Reaktivitas vaskular secara langsung dipengaruhi senyawa vasoaktif, reaktivitas otot polos, dan perubahan struktur dinding pembuluh darah.
Hipertensi memiliki keterkaitan dengan faktor genetik yang beragam. Meskipun seseorang memiliki gen yang memberikan kecenderungan hipertensi, keterlibatan faktor lingkungan sangat besar. Sedikit sekali studi yang mengatakan bahwa hipertensi pada seseorang dapat muncul hanya dengan satu gen saja tanpa adanya intervensi faktor lingkungan. Beberapa kelainan genetik yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain, aldosteronisme, defisiensi 17-α- dan 11β-hidroksilase, sindroma Liddle, serta kelainan gen yang berkenaan dengan sintesis angiotensinogen.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi. Produksi renin dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang selanjutnya akan meningkatkan retensi natrium dan air. Sistem ini juga meningkatkan vasopresin yang bersifat sebagai antidiuretik.
Gejala Klinis
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
1. sakit kepala
2. kelelahan
3. mual
4. muntah
5. sesak nafas
6. gelisah
7. pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal.
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
Diagnosis
Evaluasi penderita, hipertensi mencakup tiga komponen utama, yaitu mengidentifikasi penyebab, menilai ada tidaknya kerusakan organ target, dan mengidentifikasi adanya faktor risiko yang turut menentukan prognosis dan keberhasilan pengobatan. Data yang diperlukan untuk mengevaluasi pasien hipertensi dapat diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis dapat diperoleh informasi mengenai faktor risiko terjadinya hipertensi, riwayat hipertensi dalam keluarga, serta berbagai gejala yang sering menyertai pasien dengan hipertensi. Dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang paling menentukan untuk menegakkan diagnosis adalah pengukuran tekanan darah. Pengukuran dilakukan dengan 3 kali pembacaan selang 2 menit menggunakan manometer raksa. Tekanan darah dapat dilakukan pada posisi berdiri atau duduk, menggunakan stetoskop Bell, dan pasien harus dalam keadaan rileks setidaknya 5 menit sebelum diperiksa. Pemeriksaan fisik lainnya disesuaikan dengan ada tidaknya kelainan penyerta, misalnya pada organ target.
Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan imaging masih kontroversial, melihat adanya fakta bahwa 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi primer. Sehingga tidak disarankan melakukan semua pemeriksaan penujang, kecuali tedapat tanda yang mengarah kepada etiologi tertentu. Pemeriksaan laboratorium pada hipertensi (terutama hipertensi sekunder) misalnya hitung sel darah, serum elektrolit, serum kreatinin, glukosa darah, asam urat, dan urinalisis. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui profil lipid, seperti LDL-C, HDL-C, Trigliserida. Teknik imaging yang dapat dilakukan, misalnya ekokardiografi untuk mengetahui ada tidaknya kelainan jantung dan pembuluh darah besar, arteriografi dan pielografi untuk mengetahui hipertensi renal.
Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan hipertensi bertujuan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun etiologi hipertensi belum dapat dibuktikan, pengobatan hipertensi pada seorang penderita sudah dapat dimulai. JNC VII merekomendasikan tata laksana hipertensi berdasarkan deajat hipertensi, adanya kerusakan organ target, dan faktor risiko kardiovaskular lainnya (tabel 2 dan 3).
Modifikasi gaya hidup bagi penderita hipertensi penting untuk dilakukan. Penurunan berat badan sekurang-kurangnya 4,5 kg, akan membantu menurunkan atau mencegah hipertensi pada orang-orang yang overweight, meskipun disarankan agar berat badannya dikembalikan ke berat badan ideal. Tekanan darah juga sangat dipengaruhi pola makan, misalnya dengan metode DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang mengatur perencanaan makanan. Metode DASH menganjurkan untuk mengonsumsi lebih banyak buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan rendah lemak. Diet tinggi garam (natrium) harus diturunkan tidak lebih dari 100 mmol (2,4 gram) per hari. Setiap orang juga perlu melakukan aktivitas fisik aerobik, seperti jalan kaki, sekurang-kurangnya 30 menit per hari. Asupan alkohol harus dibatasi setidaknya 30 mL etanol atau setara dengan 2 kali minum tiap harinya. Modifikasi gaya hidup menurunkan tekanan darah, mencegah atau menghambat kejadian hipertensi, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Selain cara pengobatan nonfarmakologis, penatalaksanaan utama lain adalah dengan menggunakan obat antihipertensi. Keputusan menggunakan terapi farmakologi seperti tertera pada tabel 3. Prinsip pengobatan hipertensi antara lain:1
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal
2. Pengobatan hipertensi primer ditujukan menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang usia dan mengurangi komplikasi
3. Pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dan kemungkinan besar seumur hidup
4. Upaya menurunkan tekanan darah digunakan obat antihipertensi dan modifikasi gaya hidup
5. Pengobatan menggunakan algoritma sesuai JNC VII (2003) Apabila tekanan darah telah turun dan dosis antihipertensi stabil dalam 6 hingga 12 bulan, dosis obat dapat di coba diturunkan dengan pengawasan ketat, tetapi tidak langsung dihentikan. Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi sangat banyak, obat antihipertensi yang digunakan juga sangat bervariasi dalam hal titik tangkap kerjanya.
Patogenesis terjadinya hipertensi esensial (primer) meliputi banyak faktor yang beragam. Faktor-faktor tersebut antara lain, perfusi jaringan yang adekuat, mediator humoral, vaskular, volume darah sirkulasi, viskositas, cardiac output, elastisitas pembuluh, dan stimulasi saraf. Selain itu, juga terdapat faktor lain, seperti genetik (ras), diet, dan usia.
Hipertensi dapat berkembang dengan disertai berbagai kerusakan organ target, misalnya aorta dan arteri, jantung, ginjal, retina, dan susunan saraf pusat. Progresivitas peningkatan tekanan darah dapat berlangsung hingga puluhan tahun. Hipertensi stadium awal dapat merupakan bentuk awal hipertensi, yang dihasilkan oleh penurunan resistensi perifer dan peningkatan stimulasi kardiak oleh hiperaktivitas adrenergik dan homeostasis kalsium. Bila hipertensi berlangsung kronis, maka resistensi vaskular akan meningkat. Reaktivitas vaskular merupakan faktor penting yang menentukan perubahan derajat hipertensi. Reaktivitas vaskular secara langsung dipengaruhi senyawa vasoaktif, reaktivitas otot polos, dan perubahan struktur dinding pembuluh darah.
Hipertensi memiliki keterkaitan dengan faktor genetik yang beragam. Meskipun seseorang memiliki gen yang memberikan kecenderungan hipertensi, keterlibatan faktor lingkungan sangat besar. Sedikit sekali studi yang mengatakan bahwa hipertensi pada seseorang dapat muncul hanya dengan satu gen saja tanpa adanya intervensi faktor lingkungan. Beberapa kelainan genetik yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain, aldosteronisme, defisiensi 17-α- dan 11β-hidroksilase, sindroma Liddle, serta kelainan gen yang berkenaan dengan sintesis angiotensinogen.
Sistem renin-angiotensin-aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi. Produksi renin dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang selanjutnya akan meningkatkan retensi natrium dan air. Sistem ini juga meningkatkan vasopresin yang bersifat sebagai antidiuretik.
Gejala Klinis
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
1. sakit kepala
2. kelelahan
3. mual
4. muntah
5. sesak nafas
6. gelisah
7. pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal.
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
Diagnosis
Evaluasi penderita, hipertensi mencakup tiga komponen utama, yaitu mengidentifikasi penyebab, menilai ada tidaknya kerusakan organ target, dan mengidentifikasi adanya faktor risiko yang turut menentukan prognosis dan keberhasilan pengobatan. Data yang diperlukan untuk mengevaluasi pasien hipertensi dapat diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis dapat diperoleh informasi mengenai faktor risiko terjadinya hipertensi, riwayat hipertensi dalam keluarga, serta berbagai gejala yang sering menyertai pasien dengan hipertensi. Dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang paling menentukan untuk menegakkan diagnosis adalah pengukuran tekanan darah. Pengukuran dilakukan dengan 3 kali pembacaan selang 2 menit menggunakan manometer raksa. Tekanan darah dapat dilakukan pada posisi berdiri atau duduk, menggunakan stetoskop Bell, dan pasien harus dalam keadaan rileks setidaknya 5 menit sebelum diperiksa. Pemeriksaan fisik lainnya disesuaikan dengan ada tidaknya kelainan penyerta, misalnya pada organ target.
Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan imaging masih kontroversial, melihat adanya fakta bahwa 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi primer. Sehingga tidak disarankan melakukan semua pemeriksaan penujang, kecuali tedapat tanda yang mengarah kepada etiologi tertentu. Pemeriksaan laboratorium pada hipertensi (terutama hipertensi sekunder) misalnya hitung sel darah, serum elektrolit, serum kreatinin, glukosa darah, asam urat, dan urinalisis. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui profil lipid, seperti LDL-C, HDL-C, Trigliserida. Teknik imaging yang dapat dilakukan, misalnya ekokardiografi untuk mengetahui ada tidaknya kelainan jantung dan pembuluh darah besar, arteriografi dan pielografi untuk mengetahui hipertensi renal.
Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan hipertensi bertujuan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun etiologi hipertensi belum dapat dibuktikan, pengobatan hipertensi pada seorang penderita sudah dapat dimulai. JNC VII merekomendasikan tata laksana hipertensi berdasarkan deajat hipertensi, adanya kerusakan organ target, dan faktor risiko kardiovaskular lainnya (tabel 2 dan 3).
Modifikasi gaya hidup bagi penderita hipertensi penting untuk dilakukan. Penurunan berat badan sekurang-kurangnya 4,5 kg, akan membantu menurunkan atau mencegah hipertensi pada orang-orang yang overweight, meskipun disarankan agar berat badannya dikembalikan ke berat badan ideal. Tekanan darah juga sangat dipengaruhi pola makan, misalnya dengan metode DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang mengatur perencanaan makanan. Metode DASH menganjurkan untuk mengonsumsi lebih banyak buah-buahan, sayur-sayuran, dan makanan rendah lemak. Diet tinggi garam (natrium) harus diturunkan tidak lebih dari 100 mmol (2,4 gram) per hari. Setiap orang juga perlu melakukan aktivitas fisik aerobik, seperti jalan kaki, sekurang-kurangnya 30 menit per hari. Asupan alkohol harus dibatasi setidaknya 30 mL etanol atau setara dengan 2 kali minum tiap harinya. Modifikasi gaya hidup menurunkan tekanan darah, mencegah atau menghambat kejadian hipertensi, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Selain cara pengobatan nonfarmakologis, penatalaksanaan utama lain adalah dengan menggunakan obat antihipertensi. Keputusan menggunakan terapi farmakologi seperti tertera pada tabel 3. Prinsip pengobatan hipertensi antara lain:1
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal
2. Pengobatan hipertensi primer ditujukan menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang usia dan mengurangi komplikasi
3. Pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dan kemungkinan besar seumur hidup
4. Upaya menurunkan tekanan darah digunakan obat antihipertensi dan modifikasi gaya hidup
5. Pengobatan menggunakan algoritma sesuai JNC VII (2003) Apabila tekanan darah telah turun dan dosis antihipertensi stabil dalam 6 hingga 12 bulan, dosis obat dapat di coba diturunkan dengan pengawasan ketat, tetapi tidak langsung dihentikan. Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi sangat banyak, obat antihipertensi yang digunakan juga sangat bervariasi dalam hal titik tangkap kerjanya.
sumber : http://ahmadrahmawan.blogspot.com/2009/10/peranan-angiotensin-receptor-blocker.html?m=1
Komentar
Posting Komentar